Rabu, 11 April 2012

Black Message

BRAAKK!
            Tiba-tiba pintu terbuka. Makhluk tersebut tampak tidak nyata ku lihat. Tetapi, bayangannya yang datang semakin lama semakin nyata. Makhluk tersebut bergerak perlahan mendekati ku. Suasana semakin mencekam. Dimana-mana gelap. Hanya ada cahaya ventilasi yang menerangi di ruang tersebut. Cahaya tersebut sudah semakin redup karena matahari yang akan segera terbenam.
            Kemudian makhluk tersebut menarik kerah bajuku hingga aku bangkit berdiri dengan rasa sakit di yang luar biasa pada pundak ku.
“Kau akan mati, di tanganku, Jimmy. Hahaha”, teriaknya sambil ketawa.
“Ke-ke-ke napa ka-ka-kau i-i-ingin mem-mem-membunuhku?”, jawabku sambil terbata-bata karena takut luar biasa.
“Kau! Kau…”

--------------------------------------------------------------------------------------------

Pagi ini, seperti biasa aku bangun pukul empat. Ku rapikan semua tempat ku melepas lelah tadi malam. Bantal yang berserakan sudah ku susun rapi. Udaranya cukup segar, walaupun agak dingin menusuk tulang karena sisa musim dingin yang akan segera berlalu. Sepertinya cuaca hari ini akan mendukung bagi saya dan jutaan manusia lainnya yang sibuk bekerja. Di kota kosmopolitan ini, aku hanya tinggal sendiri. Tak ada sanak saudara sama sekali. Sudah lama aku tinggal dan menetap di kota terbesar di dunia ini.
            Setelah seluruh kamar ku rapikan dengan bagus, aku berniat untuk melakukan pemanasan kira-kira lima belas menit di luar apartemen. Ku melangkah ke luar dan menuju pintu lift. Ku tekan tombol yang hanya ada satu, yaitu menuju ke bawah karena aku sengaja membeli apartemen yang ada di pusat kota dan terletak di lantai paling atas, lantai 45. Setiap malam, aku ingin menikmati indahnya kota New York dengan ribuan cahaya lampu yang berkilau dari seluruh gedung penacakar langit yang ada. Memang sih, harga apartemennya mahal, bahkan sangat mahal. Tetapi aku sangat puas dengan lokasi strategis dan bentuk segi lima serta fasilitas yang bisa di bilang salah satu yang terlengkap di kota ini.
            Pintu lift pun terbuka dan aku melihat sesosok tubuh yang tampak lesu dan kelelahan.
 “Hai, selamat pagi Nicky. Kamu dari mana saja malam ini? Kenapa baru pagi ini pulang?”, sapaku pada Nicky teman satu lantai ku di apartemen ini. Cuma kami berdua yang memiliki lantai paling atas gedung ini. Di lantai ini ada dua unit, unitku dan unit Nicky. Dia masih muda, sekitar 28 tahun, dan dia kerja di salah satu perusahaan terbesar di dunia sebagai staf ahli.
“Hai, selamat pagi juga Jimmy. Malam ini aku lembur. Ada setumpuk tugas di meja kerja ku yang harus di selesaikan sesegera mungkin”, jawabnya dengan senyum yang tampak sangat di paksakan.
“Owh, pantasan wajahmu tampak sangat kusam dan lelah. Segeralah masuk ke kamar mu dan beristirahatlah. Kau butuh istirahat yang lebih hari ini”, ujarku padanya.
“Iya, saya memang butuh istirahat yang lebih hari ini. Saya sudah izin agar tidak masuk kerja hari ini, dan pihak perusahaan pun mengizinkannya”, jawabnya.
“Baguslah kalau begitu. Segeralah masuk ke kamarmu, sampai jumpa”.
“Ya, sampai jumpa juga”, ujarnya berlalu dan pintu lift pun tertutup.
Sepanjang perjalanan turun ke lantai bawah, di setiap lantai pasti saja ada penghuni apartemen ini yang keluar masuk. Mereka semua berlomba berpacu dengan waktu. ‘Waktu adalah Uang’, adalah prinsip mereka.
Pussh. Angin yang tidak begitu kencang menyapa kami penghuni lift begitu pintu lift terbuka di lantai satu. Saya bergegas keluar lift. Udara dingin semakin dingin karena pintu utama di lantai satu apartemen ini terbuka selama 24 jam dengan penjagaan dan kamera cctv. Lobi apartemen begitu megah. Aku melangkahkan kaki ku keluar dari apartemen. Kini sudah pukul 5 subuh, tetapi sudah banyak orang yang berlalu lalang di sekitar apartemen yang terletak di Times Square ini.
Aku berlari kecil mengelilingi apartemen sebanyak dua kali putaran. Cukup segar rasanya setelah berlari. Aku pun berniat kembali ke apartemen ku. Kaki ku melangkah menuju lift kembali dan menekan tombol ke atas. Kenapa ada dua tombol padahal di lantai satu? Ya, karena apartemen ini memiliki dua lantai bawah tanah sebagai tempat parkir kendaraan seluruh penghuni apartemen.
Lift pun tiba di lantai paling atas. Aku keluar setelah pintu terbuka dan menuju kamar apartemen ku. Ku cocokkan kelima jari ku dengan detektor sidik jari yang ada di samping pintu kamar apartemen ku. Sekilas ku lirik ke bawah pintu, aku menemukan sepucuk surat di pintu kamar apartemen ku. Surat itu sangat harum.
“Siapa yah pengirimnya?”, tanyaku dalam hati dan berlalu masuk ke kamar. Aku segera mandi dan memakai jas kerja ku yang setiap harinya berbeda. Aku bekerja di perusahaan jaringan komputer terbesar di dunia sebagai wakil direktur. Padahal usiaku masih 29 tahun, tetapi sudah memiliki jabatan setinggi itu.

---------------------------------------------------------------------------------------------------

“Selamat pagi, Jimmy. Senang berjumpa dengan kamu lagi. Masih ingat dengan saya?”, seseorang menegurku begitu aku sampai di kantorku, yang tidak jauh dari apartemen ku.
“Oh, selamat pagi juga, Bryan. Tentu saja saya masih ingat dengan kamu. Sahabat saya di kala SMA. Hahaha… Sudah terlalu lama kita tidak berjumpa. Apa kabar kamu sekarang?”
“Saya baik. Bagaimana dengan kamu, Jim?”
“Syukur, saya juga baik. Loh, kok bisa sih kamu ada di kantor saya? Ada gerangan apa?”
“Saya lagi ada keperluan nih di kantor kamu. Saya di utus dari perusahaan saya untuk mempelajari tentang teknisi komputer di perusahaan tempat kamu bekerja. Kira-kira selama seminggu ini saya akan mempelajarinya. Dan selama seminggu ini juga kita akan sama, bukan? Hahaha…”, tawanya.
Deg… Aku serasa lemas mendengar perkataan dan tawanya. Apa maksud dari tawanya yang kedengaran seperti meledek itu? Dia memang sahabat baik ku dikala SMA. Dia yang selalu men-support aku dikala aku sedang jatuh. Dia sebagai tempat curhat ku di kala aku bersedih. Dan dia juga sudah ku anggap seperti adik ku sendiri. Begitu sebaliknya dengan dia. Aku selalu mendukungnya dang menasehati dia jika dia salah. Pokoknya kami sudah seperti kaka-adik sewaktu itu. Banyak orang yang iri melihat kami.
“Oh ya? Selama seminggu? Baguslah kalau begitu, Bryan. Kita bisa bersama kembali”, ujarku sambil tersenyum. “Oh ya, Bryan. Kamu yang sekarang sangat berbeda dengan kamu yang dulu. Dulu kamu seperti bocah ingusan yang selalu mengadu pada saya. Tetapi sekarang, kamu tampak gagah. Saya salut dengan kamu”, lanjutku.
“Hahaha… Biasa saja kok saya sekarang. Justru kamu lah yang semakin gagah, Jimbong. Hahaha…”
“Sekali lagi kamu pangil saya seperti itu, saya gantung kamu di puncak Hollywood, dasar bocah ingusan!”, ujarku geram padanya.
“Hahaha… kan tidak apa-apa mengenang masa lalu, Jimbong!”, ledeknya lagi.
“Aish, sini kamu!!!”, Bryan pun lari dan saya mengejarnya. Tingkah kami betul-betul seperti anak kecil ada beberapa orang karyawan melihat kami dan tertawa lepas.
Brukk!!!
“Aw! Sakit”, ujar Bryan setelah kepalanya kejedot di tembok.
“Hahaha! Rasain kamu. Itu pembalasannya. Hahaha!”, lantas karyawan lainnya pun terbahak-bahak. Aku memang kepala bagian yang sangat akrab dengan karyawan. Justru aku malah menghormati karyawan yang jelas-jelas lebih tua dariku.

----------------------------------------------------------------------------------------------------

If you’re not the one then why does my soul feel glad, today?
If you’re not the one then why does my hand fit yours, this way?
Lagunya Daniel Bedingfield terdengar merdu dari iPhone ku. Tanda seseorang sedang menelfon. Ku lihat layar dan tertera nama Bryan.
“Halo, Bryan. Ada apa?”
“Halo, Jimmy. Kamu lagi dimana? Siang ini kita lunch bareng yah. Sekalian aku mau memperkenalkan temanku padamu. Bolehkan?”, ujar Bryan di telfon.
            “Aku lagi di kantor. Lunch bareng? Boleh. Dimana?”, sahutku kemudian.
            “Di resto asal negara kamu ajah deh. Aku lagi pengen makan ‘nasi goreng’ nih, gimana?”
            “Boleh-boleh. Aku juga lagi pengen. Kamu yang traktir, bukan?”
            “Okeh, sip deh. Ku tunggu di Salayang Restaurant Times Square ya, pukul 12.30. Ok!”
            “Ok!”
            “Katanya dia mau mengenalkan temannya padaku. Siapa yah? Penasaran…”, ujarku sangat pelan. Kemudian perhatian ku kembali tertuju pada komputer.


--------------------------------------------------------------------------------------------

            Aku melangkahkan kakiku menuju restaurant yang di maksud oleh Bryan. Sebenarnya aku lagi malas menyetir mobil ku. Makanya aku hanya jalan kaki. Lagian, jaraknya hanya 200 meter dari kantorku. Begitu sampai di restaurant tersebut, aku masuk dan melihat Bryan sudah duduk santai dengan segelas orange juice di mejanya.
            “Hai, Bryan. Sudah lama menunggu? Maaf, saya telat. Tadi ada sedikit pekerjaan tambahan”, sapaku pada Bryan.
            “Hai, Jim. No, saya baru 10 nyampai. Lihat orange juice saya, belum terteguk sedikit pun. Hehehe…”, sahut Bryan sambil nyengir.
            “Kalau begitu, kamu sudah pesan atau belum? Kamu pasti tahu kan aku pengen apa?”
            “Sudah kok. Seporsi Sate Kambing Madura. Seporsi Nasi Goreng special. Seporsi Mie Soto Semarang”.
            “Loh? Kok Mie Soto Semarang kamu pesan? Memangnya kamu mau dua posi yah? Dasar rakus! Hahaha”
            “Bukan untuk aku kok. Kamu lupa yah? Tadi kan aku bilang mau mengenalkan temanku padamu. Kalau aku makan dua porsi, bisa-bisa meldak perut ku! Hahaha” Tawanya kemudian.
            “Oh, begitu yah. Tapi, mana teman mu itu? Kenapa belum datang juga?”
            “Tadi sudah saya BBM, dia bilang lagi di took buku. Mungkin sebentar lagi sampai”.
            “Oh, kita tunggua saja dia”.
            “Nah, itu dia”, ujar Bryan sambil melambai-lambaikan tangannya ke arah pintu masuk yang tebuka. Tampak seorang gadis seusia kami. Sepertinya dari Amerika Selatan. Karena warna kulit gadis tersebut tidak seperti warna putih pucat pada umumnya, melainkan agak kekuning-kuningan.
            “Hai Bryan? Sudah lama menunggunya? Maaf yah, saya telat karena buku yang saya cari tadi susah di temukan. Maaf yah” ujar gadis tersebut.
            “Oh, tidak apa-apa kok Stephany”, balas Bryan sambil tersenyum. “Oh ya, Jimmy, ini Stephany. Teman ku. Dan Stephany, ini Jimmy. Sahabat saya di SMA dulu”, ujar Bryan memperkenalkan kami berdua.
            “Hai, Jimmy. Saya Stephany”, ujar Stephany sambil menjabat tanganku.
            “Hai, Stephany. Saya Jimmy. Senang berkenalan dengan kamu”.
            “Saya juga senang berkenalan dengan kamu”.
            “Baiklah, makanan sudah datang. Mari makan”, ujar Bryan.
            “Ya, mari makan!”, ujarku datar. Seperti ada kejanggalan yang ku rasakan pada sosok gadis ini. Tapi ntah apa? Aku pun menepis kejanggalan itu.
            “Hm, delicious. Makanan Indonesia sangat enak yah. Gurih sekali mie nya. Ini mie ter enak yang pernah saya rasakan. Apalagi kuah nya itu loh, sangat terasa rempah-rempahnya. Saya suka ini!” sahut Stephany kemudian.
            “Iya, betul Stephany. Indonesian foods is the best foods I ever taste! Apalagi Nasi Goreng ini. Nasi nya itu loh, gurih luar biasa. Bumbu meresap sampai ke dalam-dalam”, ujar Bryan.
“Kamu sangat beruntung, Jimmy bisa lahir di Indonesia. Pasti sewaktu tinggal di Indoensia, kamu tiap hari makan makanan enak ini yah. Saya tidak merasa kuatir memakannnya, karena pasti sehat. Banyak teman saya yang membilang begitu. Tapi saya tidak pecaya begitu saja. Ternyata mereka benar!”, sahut Stephany kemudian.
“Yah, itulah Indonesia. Tanah airku. Aku sangat rindu untuk ke sana. Aku rindu orang tua ku. Apalagi kota kelahiranku, Medan. Kotanya orang dari berbagai etnis. I love Indonesia”, sahutku sambil tersenyum.
“Kenapa kau tidak berlibur dulu ke Indonesia?”, lanjut Stephany.
“Saya sangat sibuk sekarang ini. Sangat banyak perkerjaan yang menanti”, ujarku setelah meneguk orange juice ku.
“Oh, begitu yah,” sahut Stephany.
“Yah, begitulah Jimmy. Selalu sibuk. Hahaha”, lanjut Bryan sambil tertawa pelan.
Makan siang pun telah selesai. Petugas pun telah membersihakan meja kami. Yang tinggal hanya makanan penutup. Kami menyantapnya sambil nge-jokes. Kami bertiga menjadi akrab. Khususnya aku dengan Stephany. Rasa janggal tersebut masih ada. Tapi sudah berhasil ku tepis semuanya.


----------------------------------------------------------------------------------------------------

Sudah hampir setahun aku kenal dengan Stephany. Kami menjadi teman yang akrab. Semua kejanggalan yang terasa di benakku sudah ku tepis. Tetapi, Bryan sudah pindah tugas dari perusahaan nya ke Paris, Prancis. Kami masih bisa kontak melalui jaringan sosial seperti twitter.
iPhone ku kembali berdering tengah malam begini. Kira-kira sudah pukul 12 tengah malam. Entah dari siapa. Tapi kulihat, ada satu pesan masuk. Nomornya tidak ku kenal, ku buka dan ku baca. Begini isinya:
“Hai, Jimmy. Aku kini sudah tahu siapa kau. Aku ingin kita berjumpa di sebuah tempat di pinggiran kota. Di sebuah rumah kecil bertembok kayu cat warna cokelat jalan St. Louis di sekitar pinggiran Manhattan. Hari Sabtu minggu depan pukul 5 sore. Aku harap kamu datang jika kamu ingin tahu siapa aku!”
“Siapa ini?”, balasku. Tidak ada jawaban.
Ku putar lagu Whitney Houston, I will always love you dari DVD player ku. Lagu tersebut sukses membuatku terlelap hingga besok pagi.


Pagi ini, ku telfon Bryan, sahabat ku. Ku ceritakan pada dia tentang sms yang ku terima malam tadi. Tapi dia hanya bilang, tidak usah di tanggapi. Karena sms itu hanya memprmainkan aku saja. Aku setuju pada Bryan.
Perihal sms ini juga ku ceritakan pada Stephany. Stephany bilang bahwa sebaiknya aku mengikuti petunjuk dari sms itu. Siapa tahu, teman lama yang ingin berjumpa. Aku semakin bingung. Ku putuskan untuk menemui orang yang meng-sms ku itu.
“Kamu bisa kan menemani ku, Stephany?”
“Baiklah, saya akan menemani kamu. Kebetulan minggu depan saya lagi free job di kantor”.
“Terimakasih banyak yah Stephany. Kamu telah mau menemani saya untuk bertemu dengan pemilik Black message tersebut”.
“Ya, sama-sama. Kita kan teman, harusnya saling menolong. Bukankah begitu?”
“Ya, memang harus begitu” ujarku pada Stephany sambil tersenyum.
“Kalau begitu, aku pergi dulu yah. Masih ada kerjaan di kantor, bye Jimmy”.
“Baiklah, bye Stephany”.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------

            Setiap malam sms gelap tersebut datang. Aku semakin bingung dan penasaaran. Setiap ku balas, tak ada balasan lain. Aku semakin bingung. Apa ini terror buatku? Jika ia, siapa yang hendak meneror ku? Perasaan, aku belum punya musuh di negeri Paman Sam ini. Aku sangat takut akan terror ini. Aku tak dapat berbuat apa-apa selain menunggu hari Sabtu, dimana aku akan mengetahui siapa yang menerorku.

----------------------------------------------------------------------------------------------------

Hari ini tepat hari Sabtu. Rasanya begitu lama waktu berjalan. Sengaja aku tidak masuk kantor hari ini, karena aku gelisah sepanjang hari. Tak tahu kenapa. Perasaanku tidak enak.
“Jimmy, tampaknya kau sedang gelisah. Ada masalah apa?”, tanya Nicky, teman selantai beda apartemen di gedung ini.
“Oh, tidak apa-apa kok Nicky. Mungkin aku kepanasan”, jawabku asal. Sungguh alasan yang sangat tidak logis. Masa di apartemen semewah ini kepanasan?
“Oh..”
Mungkin Nicky tahu aku sedang tidak ingin di ganggu, makanya dia hanya ber-oh saja. Dan pasti memikir aku sudah gila, masa di tempat dingin begini bisa kepanasan? Ya, aku sedang gila. Sungguh penasaran dengan sms yang hamper tiap malam datang dengan bunyi yang sama. Hanya waktu nya saja berbeda, misalnya tiga hari lagi, lusa, besok, dll.
Setiap aku membalas sms, tidak pernah ada sms balasan. Dan anehnya, sms tersebut datang setiap pukul 12 malam. Aku bingung dan penasaran setengah mampus. Bryan berusaha menghiburku melalui segala cara, baik twitter, chatt, ataupun ngejokes dari telfon. Tapi nihil sama sekali. Aku masih penasaran!


Tepat pukul 3 sore, Stephany datang ke apartemenku. Dia menekan bel dan ku lihat dari kamera cctv. Ku buka pintunya.
“Ternyata kamu Steph. Masuk yuk. Kamu sudah siap?” sahutku sambil mempersilahkan masuk.
“Hahaha. Terus terang, kamu tampak lucu. Memangnya mau apa? Pake persiapan segala? Kayak mau pesta ajah. Kan Cuma mau menjumpai seseorang misterius yang kamu bilang Black message itu”, ledek Stephany padaku.
“Iya sih. Aku penasaran sekali dengan oranag tersebut. Yaudah, kalau begitu aku mandi dulu yah. Tunggu kira-kira 15 menit. Ok!”
“Ok! Eh, minum mana? Masa aku gak di kasih minum sih?”, sahut Stephany.
“Oh, iya. Hehehe… Kamu bisa ambil sendiri kan? Tuh di lemari es ada banyak minuman. Piliih ajah. Aku mandi dulu yah!”
“Ok!”
Kira-kira 15 menitan, aku selesai mandi. Setelah berpakaian simple dengan kemeja cokelat dan jeans hitam yang membalut tubuhku, kami segera bergegas ke basement bawah untuk mengambil mobil.
“Eh, kita naik mobil kamu atau naik mobil aku?”, tanya Stephany.
“Naik mobil aku ajah”, ujarku.
“Oke lah!”.
Mobilku melaju membelah kota New York, menuju daerah Manhattan. Sudah sejam perjalanan di tempuh. Tepat pukul 5 sore kami sampai di tempat yang di maksud. Ternyata tidak susah mencari rumah mungil berdinding kayu berwarna cokelat itu. Karena hanya itu rumah yang sangat mungil. Yang lainya hanya rumah-rumah elite dan mewah.
“Aku menunggu di mobil yah, Jim”, kata Stephany.
“Baiklah, aku masuk sebentar”
Ku langkahkan kakiku untuk masuk ke rumah tersebut. Pagarnya juga terbuat dari kayu. Semua serba kayu. Tetapi, beluam ada yang rusak. Sekilas aku kagum dengan rumah mungil ini. Begitu indah dan asri. Ada banyak bunga berwarna-warni yang tampak terawat. Bunga memang mulai bertumbuhan karena telah memasuki musim semi.
Ku buka pagar yang tidak terkunci. Ku melangkah di tapak batuan yang tersusun rapi menuju rumah. Setelah sampai rumah, ku tekan bel. Tapi tidak ada orang yang membuka pintu. Ku coba untuk membuka pintunya. Kreek. Ternyata terbuka. Ku melongo kea lam. Tak ada orang satupun. Aku masuk dan tiba-tiba muncul seseorang bertopeng di hadapanku.
“Siapa kamu?”, sahutku pada manusia bertopeng yang tiba-tiba muncul itu.
“Jimmy…”
BRUGG!!!
Tiba-tiba kepalan tangannya meninju perutku. Sangat sakit sayanya. Aku mual. Tanpa terasa, keluar darah segar dari bibirku.
“Hei!!! Kenapa kau lakukan ini? Kenapa? Apa salahku?”
BRUGG!!!
Dia sekali lagi meninju wajahku dan darah segar kembali mengalir dari hidungku. Aku sempoyongan. Tak dapat berkata apa-apa lagi. Dan tiba-tiba semuanya gelap. Aku pingsan.
Aku terbangun. Muka ku masih lebam. Sekujur tubuhku rasanya sakit sekali. Tak ada satu orang pun di ruangan ini.
BRAAKK!
Tiba-tiba pintu terbuka. Makhluk tersebut tampak tidak nyata ku lihat. Tetapi, bayangannya yang datang semakin lama semakin nyata. Dia tetap memakai topeng. Makhluk tersebut bergerak perlahan mendekati ku. Suasana semakin mencekam. Dimana-mana gelap. Hanya ada cahaya ventilasi yang menerangi ruangan tersebut. Cahaya itu sudah semakin redup karena matahari yang akan segera terbenam.
            Kemudian makhluk tersebut menarik kerah bajuku hingga aku bangkit berdiri dengan rasa sakit di yang luar biasa pada pundak ku.
“Kau akan mati, di tanganku, Jimmy. Hahaha”, teriaknya sambil ketawa.
“Ke-ke-ke napa ka-ka-kau i-i-ingin mem-mem-membunuhku?”, jawabku sambil terbata-bata karena takut luar biasa.
“Kau! Kau… kau sudah membunuh oang tuaku Jimmy!!! Kau bunuh ibu ku! Kau bunuh ayah ku! Kau sungguh biadab, Jimmy!!!”
Tiba-tiba otakku terpatri mengingat masa lalu ku. Sewaktu SMP dahulu, aku belajar mengendarai mobil bersama temanku. Aku mencoba menyetir dengan perlahan. Tapi tiba-tiba ada dua orang menyebrang jalan. Suami-istri. Aku terkejut. Bukannya rem yang ku injak, malah pedal gas yang ku injak. Otomatis, mobuilku melaju sangat cepat. Kedua orang itu terlindas dan meninggal di tempat. Kejadian itu sangant membekas di pikiranku. Aku tidak terluka karena ada safety belt. Aku sangat syok dan trauma sewaktu itu. Terlalu ramai orang mengelilingi mkobilku dan juga suami-istri yang meninggal itu. Dimana-mana ada polisi. Aku diamankan ke kantor polisi. Sampai-sampai kedua orang tua ku khusus datang ke negeri ini hanya untuk menlihat keadaanku. Aku sangat trauma di kala itu.
“Aku tidak membunuhnya. Itu kecelakaan murni. Apakah kau mengira aku sengaja membunuh mereka?”, sahutku sambil merasakan sakit yang luar biasa.
“Tidak! KAU SENGAJA!” katany triak.
BUUGG! BAAGG! BUUGG!
Dia meninju tiga kali berturut-turut. Mataku sudah bengkak.
“Timah ini, akan bersarang di kepalamu!”, sahut pria bertopeng itu.
“Tidak! Jangan bunuh aku! TOLONG!!!”
“Hahaha… Walaupun kau teriak, tak ada satu orang pun akan mendengarmu. Kawasan ini sangat sepi. Teman wanita sudah ku sekap. Hahaha…” “Enyahlah kau!”

DUARRRRR!!!

ARRRRGGGHHHHHHHHHH!!!!!!!

Brak!!!

Pria bertopeng itu jatuh, aku sangat terkejut.

“Jimmy, untung kau tidak apa-apa”.
“Bryan, kenapa kamu disini? Aku sangat takut Bryan. Sangat takut”
“Aku merasa ada yang aneh dari Black message yang kau ceritakan padaku. Aku menyusulmu ke New York, dan tadi siang aku sampai di JFK. Aku langsung ke apartemen mu. Tapi, tak ada kau. Aku berinisiatif menjumpai kau ke rumah yang kau ceritakan itu. Ternyata kau mau di bunuh. Mobilmu sudah hancur di depan. Stephany sudah aku selamatkan. Kau tidak apa-apa kan?”
“Ya, aku tidak apa-apa. Sebenarnya siapa yang ingin membunuhku tadi?”
“Aku juga tidak tahu. Aku sudah menelfon 911 dan polisi sebentar lagi akan segera datang”
Tedengar suara sirine merdu dari mobil patroli FBI. Segerombolan polisi masuk ke rumah tersebut dan langsung mengurus manusia bertopeng yang sudah terjatuh tak berdaya. Mungkin dia sudah mati. Polisi membuka topengnya dan ternyata…
“NICKY???!!!”, teriakku kaget.
“Kamu kenal dia?”, tanya Bryan.
“Ya. Dia teman satu lantai ku di gedung apartemen!”, jawabk. “Berarti orangtuanya lah yang ku tabrak dulu”, ujarku pelan dan meneteskan air mata.
“Ya sudah. Jangan ingat masa lalu lagi. Ayo kita keluar. Kita temui Stephany”.
“Iya, ayo”
Kami melangkah ke luar rumah. Bryan menggendongku. Sampai di luar, kami di beri kursia oleh petugas ambulance. Aku duduk sambil minum air gelas mineral yang di sediakan petugas kesehatan. Aku tarik nafas dalam-dalam.
“Jimmy, Bryan! Kalian tidak apa-apa?”, teriak seorang gadis yang ternyata adalah Stephany.
“Stephany. Ya, kami tidak apa-apa. Maaf telah membuat mu jadi ikut ke dalam masalah ku”, ujarku pada Stephany.
“Justru aku yang seharusnya minta maaf. Aku seharusnya menyuruh mu untuk tidak mengacuhkan black message itu. Tapi, aku juga terlanjur penasaran. Maafkan aku, Jimbong”
“Hei!. Don’t called me like that!!! Pasti kau yang memberitahu nama panggilan itu pada Stephany, iya kan Bryan?”, teriakku.
“Hehehe, iya Jimbong”, teriak nya sambil menjitak kepala ku.
“Aww! Sakit bodoh! Kepalaku sudah bengkak masih juga di jitak. Awas kalian berdua!”, teriakku sambil tersenyum lega.
“Hahaha… Biarin!”. Jawab mereka kompak.
Aku pun keki melihat mereka. Tapi aku bersyukur punya teman dan sahabat seperti mereka. Terimakasih, sahabat.