BRAAKK!
Tiba-tiba pintu terbuka. Makhluk tersebut tampak tidak nyata ku lihat. Tetapi,
bayangannya yang datang semakin lama semakin nyata. Makhluk tersebut bergerak
perlahan mendekati ku. Suasana semakin mencekam. Dimana-mana gelap. Hanya ada
cahaya ventilasi yang menerangi di ruang tersebut. Cahaya tersebut sudah
semakin redup karena matahari yang akan segera terbenam.
Kemudian makhluk tersebut menarik kerah bajuku hingga aku bangkit berdiri
dengan rasa sakit di yang luar biasa pada pundak ku.
“Kau akan mati,
di tanganku, Jimmy. Hahaha”, teriaknya sambil ketawa.
“Ke-ke-ke napa
ka-ka-kau i-i-ingin mem-mem-membunuhku?”, jawabku sambil terbata-bata karena
takut luar biasa.
“Kau! Kau…”
--------------------------------------------------------------------------------------------
Pagi ini, seperti
biasa aku bangun pukul empat. Ku rapikan semua tempat ku melepas lelah tadi
malam. Bantal yang berserakan sudah ku susun rapi. Udaranya cukup segar,
walaupun agak dingin menusuk tulang karena sisa musim dingin yang akan segera
berlalu. Sepertinya cuaca hari ini akan mendukung bagi saya dan jutaan manusia
lainnya yang sibuk bekerja. Di kota kosmopolitan ini, aku hanya tinggal
sendiri. Tak ada sanak saudara sama sekali. Sudah lama aku tinggal dan menetap
di kota terbesar di dunia ini.
Setelah seluruh kamar ku rapikan dengan bagus, aku berniat untuk melakukan
pemanasan kira-kira lima belas menit di luar apartemen. Ku melangkah ke luar
dan menuju pintu lift. Ku tekan tombol yang hanya ada satu, yaitu menuju ke
bawah karena aku sengaja membeli apartemen yang ada di pusat kota dan terletak
di lantai paling atas, lantai 45. Setiap malam, aku ingin menikmati indahnya
kota New York dengan ribuan cahaya lampu yang berkilau dari seluruh gedung
penacakar langit yang ada. Memang sih, harga apartemennya mahal, bahkan sangat
mahal. Tetapi aku sangat puas dengan lokasi strategis dan bentuk segi lima
serta fasilitas yang bisa di bilang salah satu yang terlengkap di kota ini.
Pintu lift pun terbuka dan aku melihat sesosok tubuh yang tampak lesu dan
kelelahan.
“Hai, selamat pagi Nicky. Kamu dari mana saja
malam ini? Kenapa baru pagi ini pulang?”, sapaku pada Nicky teman satu lantai
ku di apartemen ini. Cuma kami berdua yang memiliki lantai paling atas gedung
ini. Di lantai ini ada dua unit, unitku dan unit Nicky. Dia masih muda, sekitar
28 tahun, dan dia kerja di salah satu perusahaan terbesar di dunia sebagai staf
ahli.
“Hai, selamat
pagi juga Jimmy. Malam ini aku lembur. Ada setumpuk tugas di meja kerja ku yang
harus di selesaikan sesegera mungkin”, jawabnya dengan senyum yang tampak
sangat di paksakan.
“Owh, pantasan
wajahmu tampak sangat kusam dan lelah. Segeralah masuk ke kamar mu dan
beristirahatlah. Kau butuh istirahat yang lebih hari ini”, ujarku padanya.
“Iya, saya
memang butuh istirahat yang lebih hari ini. Saya sudah izin agar tidak masuk
kerja hari ini, dan pihak perusahaan pun mengizinkannya”, jawabnya.
“Baguslah kalau begitu. Segeralah masuk ke
kamarmu, sampai jumpa”.
“Ya, sampai jumpa juga”, ujarnya berlalu
dan pintu lift pun tertutup.
Sepanjang
perjalanan turun ke lantai bawah, di setiap lantai pasti saja ada penghuni
apartemen ini yang keluar masuk. Mereka semua berlomba berpacu dengan waktu.
‘Waktu adalah Uang’, adalah prinsip mereka.
Pussh. Angin
yang tidak begitu kencang menyapa kami penghuni lift begitu pintu lift terbuka
di lantai satu. Saya bergegas keluar lift. Udara dingin semakin dingin karena
pintu utama di lantai satu apartemen ini terbuka selama 24 jam dengan penjagaan
dan kamera cctv. Lobi apartemen begitu megah. Aku melangkahkan kaki ku keluar
dari apartemen. Kini sudah pukul 5 subuh, tetapi sudah banyak orang yang
berlalu lalang di sekitar apartemen yang terletak di Times Square ini.
Aku berlari
kecil mengelilingi apartemen sebanyak dua kali putaran. Cukup segar rasanya
setelah berlari. Aku pun berniat kembali ke apartemen ku. Kaki ku melangkah
menuju lift kembali dan menekan tombol ke atas. Kenapa ada dua tombol padahal
di lantai satu? Ya, karena apartemen ini memiliki dua lantai bawah tanah
sebagai tempat parkir kendaraan seluruh penghuni apartemen.
Lift pun tiba di
lantai paling atas. Aku keluar setelah pintu terbuka dan menuju kamar apartemen
ku. Ku cocokkan kelima jari ku dengan detektor sidik jari yang ada di samping
pintu kamar apartemen ku. Sekilas ku lirik ke bawah pintu, aku menemukan
sepucuk surat di pintu kamar apartemen ku. Surat itu sangat harum.
“Siapa yah
pengirimnya?”, tanyaku dalam hati dan berlalu masuk ke kamar. Aku segera mandi
dan memakai jas kerja ku yang setiap harinya berbeda. Aku bekerja di perusahaan
jaringan komputer terbesar di dunia sebagai wakil direktur. Padahal usiaku
masih 29 tahun, tetapi sudah memiliki jabatan setinggi itu.
---------------------------------------------------------------------------------------------------
“Selamat pagi,
Jimmy. Senang berjumpa dengan kamu lagi. Masih ingat dengan saya?”, seseorang
menegurku begitu aku sampai di kantorku, yang tidak jauh dari apartemen ku.
“Oh, selamat
pagi juga, Bryan. Tentu saja saya masih ingat dengan kamu. Sahabat saya di kala
SMA. Hahaha… Sudah terlalu lama kita tidak berjumpa. Apa kabar kamu sekarang?”
“Saya baik.
Bagaimana dengan kamu, Jim?”
“Syukur, saya
juga baik. Loh, kok bisa sih kamu ada di kantor saya? Ada gerangan apa?”
“Saya lagi ada
keperluan nih di kantor kamu. Saya di utus dari perusahaan saya untuk
mempelajari tentang teknisi komputer di perusahaan tempat kamu bekerja.
Kira-kira selama seminggu ini saya akan mempelajarinya. Dan selama seminggu ini
juga kita akan sama, bukan? Hahaha…”, tawanya.
Deg… Aku serasa
lemas mendengar perkataan dan tawanya. Apa maksud dari tawanya yang kedengaran
seperti meledek itu? Dia memang sahabat baik ku dikala SMA. Dia yang selalu men-support aku
dikala aku sedang jatuh. Dia sebagai tempat curhat ku di kala aku bersedih. Dan
dia juga sudah ku anggap seperti adik ku sendiri. Begitu sebaliknya dengan dia.
Aku selalu mendukungnya dang menasehati dia jika dia salah. Pokoknya kami sudah
seperti kaka-adik sewaktu itu. Banyak orang yang iri melihat kami.
“Oh ya? Selama
seminggu? Baguslah kalau begitu, Bryan. Kita bisa bersama kembali”, ujarku
sambil tersenyum. “Oh ya, Bryan. Kamu yang sekarang sangat berbeda dengan kamu
yang dulu. Dulu kamu seperti bocah ingusan yang selalu mengadu pada saya.
Tetapi sekarang, kamu tampak gagah. Saya salut dengan kamu”, lanjutku.
“Hahaha… Biasa
saja kok saya sekarang. Justru kamu lah yang semakin gagah, Jimbong. Hahaha…”
“Sekali lagi
kamu pangil saya seperti itu, saya gantung kamu di puncak Hollywood, dasar
bocah ingusan!”, ujarku geram padanya.
“Hahaha… kan
tidak apa-apa mengenang masa lalu, Jimbong!”, ledeknya lagi.
“Aish, sini
kamu!!!”, Bryan pun lari dan saya mengejarnya. Tingkah kami betul-betul seperti
anak kecil ada beberapa orang karyawan melihat kami dan tertawa lepas.
Brukk!!!
“Aw! Sakit”,
ujar Bryan setelah kepalanya kejedot di tembok.
“Hahaha! Rasain
kamu. Itu pembalasannya. Hahaha!”, lantas karyawan lainnya pun terbahak-bahak.
Aku memang kepala bagian yang sangat akrab dengan karyawan. Justru aku malah
menghormati karyawan yang jelas-jelas lebih tua dariku.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
If you’re not the one then why does my
soul feel glad, today?
If you’re not the one then why does my
hand fit yours, this way?
Lagunya Daniel
Bedingfield terdengar merdu dari iPhone ku. Tanda seseorang sedang menelfon. Ku
lihat layar dan tertera nama Bryan.
“Halo, Bryan.
Ada apa?”
“Halo, Jimmy.
Kamu lagi dimana? Siang ini kita lunch bareng
yah. Sekalian aku mau memperkenalkan temanku padamu. Bolehkan?”, ujar Bryan di
telfon.
“Aku lagi di kantor. Lunch bareng?
Boleh. Dimana?”, sahutku kemudian.
“Di resto asal negara kamu ajah deh. Aku lagi pengen makan ‘nasi goreng’ nih,
gimana?”
“Boleh-boleh. Aku juga lagi pengen. Kamu yang traktir, bukan?”
“Okeh, sip deh. Ku tunggu di Salayang Restaurant Times Square ya, pukul 12.30.
Ok!”
“Ok!”
“Katanya dia mau mengenalkan temannya padaku. Siapa yah? Penasaran…”, ujarku
sangat pelan. Kemudian perhatian ku kembali tertuju pada komputer.
--------------------------------------------------------------------------------------------
Aku melangkahkan kakiku menuju restaurant yang
di maksud oleh Bryan. Sebenarnya aku lagi malas menyetir mobil ku. Makanya aku
hanya jalan kaki. Lagian, jaraknya hanya 200 meter dari kantorku. Begitu sampai
di restaurant tersebut,
aku masuk dan melihat Bryan sudah duduk santai dengan segelas orange juice di
mejanya.
“Hai, Bryan. Sudah lama menunggu? Maaf, saya telat. Tadi ada sedikit pekerjaan
tambahan”, sapaku pada Bryan.
“Hai, Jim. No,
saya baru 10 nyampai. Lihat orange juice saya,
belum terteguk sedikit pun. Hehehe…”, sahut Bryan sambil nyengir.
“Kalau begitu, kamu sudah pesan atau belum? Kamu pasti tahu kan aku pengen
apa?”
“Sudah kok. Seporsi Sate Kambing Madura. Seporsi Nasi Goreng special. Seporsi
Mie Soto Semarang”.
“Loh? Kok Mie Soto Semarang kamu pesan? Memangnya kamu mau dua posi yah? Dasar
rakus! Hahaha”
“Bukan untuk aku kok. Kamu lupa yah? Tadi kan aku bilang mau mengenalkan
temanku padamu. Kalau aku makan dua porsi, bisa-bisa meldak perut ku! Hahaha”
Tawanya kemudian.
“Oh, begitu yah. Tapi, mana teman mu itu? Kenapa belum datang juga?”
“Tadi sudah saya BBM, dia bilang lagi di took buku. Mungkin sebentar lagi
sampai”.
“Oh, kita tunggua saja dia”.
“Nah, itu dia”, ujar Bryan sambil melambai-lambaikan tangannya ke arah pintu
masuk yang tebuka. Tampak seorang gadis seusia kami. Sepertinya dari Amerika
Selatan. Karena warna kulit gadis tersebut tidak seperti warna putih pucat pada
umumnya, melainkan agak kekuning-kuningan.
“Hai Bryan? Sudah lama menunggunya? Maaf yah, saya telat karena buku yang saya
cari tadi susah di temukan. Maaf yah” ujar gadis tersebut.
“Oh, tidak apa-apa kok Stephany”, balas Bryan sambil tersenyum. “Oh ya, Jimmy,
ini Stephany. Teman ku. Dan Stephany, ini Jimmy. Sahabat saya di SMA dulu”,
ujar Bryan memperkenalkan kami berdua.
“Hai, Jimmy. Saya Stephany”, ujar Stephany sambil menjabat tanganku.
“Hai, Stephany. Saya Jimmy. Senang berkenalan dengan kamu”.
“Saya juga senang berkenalan dengan kamu”.
“Baiklah, makanan sudah datang. Mari makan”, ujar Bryan.
“Ya, mari makan!”, ujarku datar. Seperti ada kejanggalan yang ku rasakan pada
sosok gadis ini. Tapi ntah apa? Aku pun menepis kejanggalan itu.
“Hm, delicious. Makanan
Indonesia sangat enak yah. Gurih sekali mie nya. Ini mie ter enak yang pernah
saya rasakan. Apalagi kuah nya itu loh, sangat terasa rempah-rempahnya. Saya
suka ini!” sahut Stephany kemudian.
“Iya, betul Stephany. Indonesian foods is
the best foods I ever taste! Apalagi Nasi Goreng ini. Nasi nya itu
loh, gurih luar biasa. Bumbu meresap sampai ke dalam-dalam”, ujar Bryan.
“Kamu sangat
beruntung, Jimmy bisa lahir di Indonesia. Pasti sewaktu tinggal di Indoensia,
kamu tiap hari makan makanan enak ini yah. Saya tidak merasa kuatir
memakannnya, karena pasti sehat. Banyak teman saya yang membilang begitu. Tapi
saya tidak pecaya begitu saja. Ternyata mereka benar!”, sahut Stephany
kemudian.
“Yah, itulah
Indonesia. Tanah airku. Aku sangat rindu untuk ke sana. Aku rindu orang tua ku.
Apalagi kota kelahiranku, Medan. Kotanya orang dari berbagai etnis. I love Indonesia”,
sahutku sambil tersenyum.
“Kenapa kau
tidak berlibur dulu ke Indonesia?”, lanjut Stephany.
“Saya sangat
sibuk sekarang ini. Sangat banyak perkerjaan yang menanti”, ujarku setelah
meneguk orange
juice ku.
“Oh, begitu
yah,” sahut Stephany.
“Yah, begitulah
Jimmy. Selalu sibuk. Hahaha”, lanjut Bryan sambil tertawa pelan.
Makan siang pun
telah selesai. Petugas pun telah membersihakan meja kami. Yang tinggal hanya
makanan penutup. Kami menyantapnya sambil nge-jokes. Kami
bertiga menjadi akrab. Khususnya aku dengan Stephany. Rasa janggal tersebut
masih ada. Tapi sudah berhasil ku tepis semuanya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Sudah hampir setahun
aku kenal dengan Stephany. Kami menjadi teman yang akrab. Semua kejanggalan
yang terasa di benakku sudah ku tepis. Tetapi, Bryan sudah pindah tugas dari
perusahaan nya ke Paris, Prancis. Kami masih bisa kontak melalui jaringan
sosial seperti twitter.
iPhone ku
kembali berdering tengah malam begini. Kira-kira sudah pukul 12 tengah malam.
Entah dari siapa. Tapi kulihat, ada satu pesan masuk. Nomornya tidak ku kenal,
ku buka dan ku baca. Begini isinya:
“Hai, Jimmy. Aku kini sudah tahu siapa kau. Aku ingin kita
berjumpa di sebuah tempat di pinggiran kota. Di sebuah rumah kecil bertembok
kayu cat warna cokelat jalan St. Louis di sekitar pinggiran Manhattan. Hari
Sabtu minggu depan pukul 5 sore. Aku harap kamu datang jika kamu ingin tahu
siapa aku!”
“Siapa ini?”, balasku. Tidak ada jawaban.
Ku putar lagu
Whitney Houston, I will always love you dari DVD player ku. Lagu tersebut
sukses membuatku terlelap hingga besok pagi.
Pagi ini, ku
telfon Bryan, sahabat ku. Ku ceritakan pada dia tentang sms yang ku terima
malam tadi. Tapi dia hanya bilang, tidak usah di tanggapi. Karena sms itu hanya
memprmainkan aku saja. Aku setuju pada Bryan.
Perihal sms ini
juga ku ceritakan pada Stephany. Stephany bilang bahwa sebaiknya aku mengikuti
petunjuk dari sms itu. Siapa tahu, teman lama yang ingin berjumpa. Aku semakin
bingung. Ku putuskan untuk menemui orang yang meng-sms ku itu.
“Kamu bisa kan
menemani ku, Stephany?”
“Baiklah, saya
akan menemani kamu. Kebetulan minggu depan saya lagi free job di kantor”.
“Terimakasih
banyak yah Stephany. Kamu telah mau menemani saya untuk bertemu dengan pemilik
Black message tersebut”.
“Ya, sama-sama.
Kita kan teman, harusnya saling menolong. Bukankah begitu?”
“Ya, memang
harus begitu” ujarku pada Stephany sambil tersenyum.
“Kalau begitu,
aku pergi dulu yah. Masih ada kerjaan di kantor, bye Jimmy”.
“Baiklah, bye
Stephany”.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Setiap malam sms gelap tersebut datang. Aku semakin bingung dan penasaaran.
Setiap ku balas, tak ada balasan lain. Aku semakin bingung. Apa ini terror
buatku? Jika ia, siapa yang hendak meneror ku? Perasaan, aku belum punya musuh
di negeri Paman Sam ini. Aku sangat takut akan terror ini. Aku tak dapat
berbuat apa-apa selain menunggu hari Sabtu, dimana aku akan mengetahui siapa
yang menerorku.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Hari ini tepat
hari Sabtu. Rasanya begitu lama waktu berjalan. Sengaja aku tidak masuk kantor
hari ini, karena aku gelisah sepanjang hari. Tak tahu kenapa. Perasaanku tidak
enak.
“Jimmy,
tampaknya kau sedang gelisah. Ada masalah apa?”, tanya Nicky, teman selantai
beda apartemen di gedung ini.
“Oh, tidak
apa-apa kok Nicky. Mungkin aku kepanasan”, jawabku asal. Sungguh alasan yang
sangat tidak logis. Masa di apartemen semewah ini kepanasan?
“Oh..”
Mungkin Nicky
tahu aku sedang tidak ingin di ganggu, makanya dia hanya ber-oh saja. Dan pasti
memikir aku sudah gila, masa di tempat dingin begini bisa kepanasan? Ya, aku
sedang gila. Sungguh penasaran dengan sms yang hamper tiap malam datang dengan
bunyi yang sama. Hanya waktu nya saja berbeda, misalnya tiga hari lagi, lusa,
besok, dll.
Setiap aku
membalas sms, tidak pernah ada sms balasan. Dan anehnya, sms tersebut datang
setiap pukul 12 malam. Aku bingung dan penasaran setengah mampus. Bryan
berusaha menghiburku melalui segala cara, baik twitter, chatt, ataupun ngejokes
dari telfon. Tapi nihil sama sekali. Aku masih penasaran!
Tepat pukul 3
sore, Stephany datang ke apartemenku. Dia menekan bel dan ku lihat dari kamera
cctv. Ku buka pintunya.
“Ternyata kamu
Steph. Masuk yuk. Kamu sudah siap?” sahutku sambil mempersilahkan masuk.
“Hahaha. Terus
terang, kamu tampak lucu. Memangnya mau apa? Pake persiapan segala? Kayak mau
pesta ajah. Kan Cuma mau menjumpai seseorang misterius yang kamu bilang Black
message itu”, ledek Stephany padaku.
“Iya sih. Aku
penasaran sekali dengan oranag tersebut. Yaudah, kalau begitu aku mandi dulu
yah. Tunggu kira-kira 15 menit. Ok!”
“Ok! Eh, minum
mana? Masa aku gak di kasih minum sih?”, sahut Stephany.
“Oh, iya.
Hehehe… Kamu bisa ambil sendiri kan? Tuh di lemari es ada banyak minuman.
Piliih ajah. Aku mandi dulu yah!”
“Ok!”
Kira-kira 15
menitan, aku selesai mandi. Setelah berpakaian simple dengan kemeja cokelat dan
jeans hitam yang membalut tubuhku, kami segera bergegas ke basement bawah untuk
mengambil mobil.
“Eh, kita naik
mobil kamu atau naik mobil aku?”, tanya Stephany.
“Naik mobil aku
ajah”, ujarku.
“Oke lah!”.
Mobilku melaju
membelah kota New York, menuju daerah Manhattan. Sudah sejam perjalanan di
tempuh. Tepat pukul 5 sore kami sampai di tempat yang di maksud. Ternyata tidak
susah mencari rumah mungil berdinding kayu berwarna cokelat itu. Karena hanya
itu rumah yang sangat mungil. Yang lainya hanya rumah-rumah elite dan mewah.
“Aku menunggu di
mobil yah, Jim”, kata Stephany.
“Baiklah, aku
masuk sebentar”
Ku langkahkan
kakiku untuk masuk ke rumah tersebut. Pagarnya juga terbuat dari kayu. Semua
serba kayu. Tetapi, beluam ada yang rusak. Sekilas aku kagum dengan rumah
mungil ini. Begitu indah dan asri. Ada banyak bunga berwarna-warni yang tampak
terawat. Bunga memang mulai bertumbuhan karena telah memasuki musim semi.
Ku buka pagar
yang tidak terkunci. Ku melangkah di tapak batuan yang tersusun rapi menuju
rumah. Setelah sampai rumah, ku tekan bel. Tapi tidak ada orang yang membuka
pintu. Ku coba untuk membuka pintunya. Kreek. Ternyata terbuka. Ku melongo kea
lam. Tak ada orang satupun. Aku masuk dan tiba-tiba muncul seseorang bertopeng
di hadapanku.
“Siapa kamu?”,
sahutku pada manusia bertopeng yang tiba-tiba muncul itu.
“Jimmy…”
BRUGG!!!
Tiba-tiba
kepalan tangannya meninju perutku. Sangat sakit sayanya. Aku mual. Tanpa
terasa, keluar darah segar dari bibirku.
“Hei!!! Kenapa
kau lakukan ini? Kenapa? Apa salahku?”
BRUGG!!!
Dia sekali lagi
meninju wajahku dan darah segar kembali mengalir dari hidungku. Aku
sempoyongan. Tak dapat berkata apa-apa lagi. Dan tiba-tiba semuanya gelap. Aku
pingsan.
Aku terbangun.
Muka ku masih lebam. Sekujur tubuhku rasanya sakit sekali. Tak ada satu orang
pun di ruangan ini.
BRAAKK!
Tiba-tiba pintu
terbuka. Makhluk tersebut tampak tidak nyata ku lihat. Tetapi, bayangannya yang
datang semakin lama semakin nyata. Dia tetap memakai topeng. Makhluk tersebut
bergerak perlahan mendekati ku. Suasana semakin mencekam. Dimana-mana gelap.
Hanya ada cahaya ventilasi yang menerangi ruangan tersebut. Cahaya itu sudah
semakin redup karena matahari yang akan segera terbenam.
Kemudian makhluk tersebut menarik kerah bajuku hingga aku bangkit berdiri
dengan rasa sakit di yang luar biasa pada pundak ku.
“Kau akan mati,
di tanganku, Jimmy. Hahaha”, teriaknya sambil ketawa.
“Ke-ke-ke napa
ka-ka-kau i-i-ingin mem-mem-membunuhku?”, jawabku sambil terbata-bata karena
takut luar biasa.
“Kau! Kau… kau
sudah membunuh oang tuaku Jimmy!!! Kau bunuh ibu ku! Kau bunuh ayah ku! Kau
sungguh biadab, Jimmy!!!”
Tiba-tiba otakku
terpatri mengingat masa lalu ku. Sewaktu SMP dahulu, aku belajar mengendarai
mobil bersama temanku. Aku mencoba menyetir dengan perlahan. Tapi tiba-tiba ada
dua orang menyebrang jalan. Suami-istri. Aku terkejut. Bukannya rem yang ku
injak, malah pedal gas yang ku injak. Otomatis, mobuilku melaju sangat cepat.
Kedua orang itu terlindas dan meninggal di tempat. Kejadian itu sangant
membekas di pikiranku. Aku tidak terluka karena ada safety belt. Aku
sangat syok dan trauma sewaktu itu. Terlalu ramai orang mengelilingi mkobilku
dan juga suami-istri yang meninggal itu. Dimana-mana ada polisi. Aku diamankan
ke kantor polisi. Sampai-sampai kedua orang tua ku khusus datang ke negeri ini
hanya untuk menlihat keadaanku. Aku sangat trauma di kala itu.
“Aku tidak
membunuhnya. Itu kecelakaan murni. Apakah kau mengira aku sengaja membunuh
mereka?”, sahutku sambil merasakan sakit yang luar biasa.
“Tidak! KAU
SENGAJA!” katany triak.
BUUGG! BAAGG!
BUUGG!
Dia meninju tiga
kali berturut-turut. Mataku sudah bengkak.
“Timah ini, akan
bersarang di kepalamu!”, sahut pria bertopeng itu.
“Tidak! Jangan
bunuh aku! TOLONG!!!”
“Hahaha…
Walaupun kau teriak, tak ada satu orang pun akan mendengarmu. Kawasan ini
sangat sepi. Teman wanita sudah ku sekap. Hahaha…” “Enyahlah kau!”
DUARRRRR!!!
ARRRRGGGHHHHHHHHHH!!!!!!!
Brak!!!
Pria bertopeng
itu jatuh, aku sangat terkejut.
“Jimmy, untung
kau tidak apa-apa”.
“Bryan, kenapa
kamu disini? Aku sangat takut Bryan. Sangat takut”
“Aku merasa ada
yang aneh dari Black message yang kau ceritakan padaku. Aku menyusulmu ke New
York, dan tadi siang aku sampai di JFK. Aku langsung ke apartemen mu. Tapi, tak
ada kau. Aku berinisiatif menjumpai kau ke rumah yang kau ceritakan itu.
Ternyata kau mau di bunuh. Mobilmu sudah hancur di depan. Stephany sudah aku
selamatkan. Kau tidak apa-apa kan?”
“Ya, aku tidak
apa-apa. Sebenarnya siapa yang ingin membunuhku tadi?”
“Aku juga tidak
tahu. Aku sudah menelfon 911 dan polisi sebentar lagi akan segera datang”
Tedengar suara
sirine merdu dari mobil patroli FBI. Segerombolan polisi masuk ke rumah
tersebut dan langsung mengurus manusia bertopeng yang sudah terjatuh tak
berdaya. Mungkin dia sudah mati. Polisi membuka topengnya dan ternyata…
“NICKY???!!!”,
teriakku kaget.
“Kamu kenal
dia?”, tanya Bryan.
“Ya. Dia teman
satu lantai ku di gedung apartemen!”, jawabk. “Berarti orangtuanya lah yang ku
tabrak dulu”, ujarku pelan dan meneteskan air mata.
“Ya sudah.
Jangan ingat masa lalu lagi. Ayo kita keluar. Kita temui Stephany”.
“Iya, ayo”
Kami melangkah
ke luar rumah. Bryan menggendongku. Sampai di luar, kami di beri kursia oleh
petugas ambulance. Aku duduk sambil minum air gelas mineral yang di sediakan
petugas kesehatan. Aku tarik nafas dalam-dalam.
“Jimmy, Bryan!
Kalian tidak apa-apa?”, teriak seorang gadis yang ternyata adalah Stephany.
“Stephany. Ya,
kami tidak apa-apa. Maaf telah membuat mu jadi ikut ke dalam masalah ku”,
ujarku pada Stephany.
“Justru aku yang
seharusnya minta maaf. Aku seharusnya menyuruh mu untuk tidak mengacuhkan black
message itu. Tapi, aku juga terlanjur penasaran. Maafkan aku, Jimbong”
“Hei!. Don’t called me like
that!!! Pasti kau yang memberitahu nama panggilan itu pada Stephany, iya
kan Bryan?”, teriakku.
“Hehehe, iya
Jimbong”, teriak nya sambil menjitak kepala ku.
“Aww! Sakit
bodoh! Kepalaku sudah bengkak masih juga di jitak. Awas kalian berdua!”,
teriakku sambil tersenyum lega.
“Hahaha…
Biarin!”. Jawab mereka kompak.
Aku pun keki
melihat mereka. Tapi aku bersyukur punya teman dan sahabat seperti mereka.
Terimakasih, sahabat.